Sabtu, Januari 03, 2009

Melanglang ke Ranah Minang

Keindahan adalah apa yang menarik jiwamu, kepadanya cinta diberikan dan bukan diminta. Dia benda yang kurasakan ketika tangan terulur keluar dari kedalaman dirimu untuk menggenggamnya demi kedalaman dirimu. Dia rantai yang mempertalikan kebahagiaan dan kesedihan. Ia adalah kegaiban yang dapat kau lihat. Kekaburan yang dapat kau mengerti, dan ketidakjelasan yang dapat engkau dengar – dia yang suci diantara hal-hal yang suci, yang bermula di dalam dirimu dan berakhir di luar ujung terjauh khayalan duniawimu (Kahlil Gibran)

Perjalanan ke Ranah Minang boleh dikatakan adalah salah satu perjalanan impian saya. Tidak tahu sebabnya, sejak kecil saya ingin sekali pergi ke sana. Ada suatu daya tarik tersendiri tentang Minangkabau yang menggugah jiwa saya, entah itu budayanya, alamnya yang indah (pada saat saya belum ke Ranah Minang tentu saja saya hanya bisa melihat lewat gambar atau televisi…), membaca karya-karya sastrawan Minang, meneladani totoh-tokoh asal Minang (Hatta, Agus Salim, dkk), dan sebagainya. Padahal tidak setetes pun darah Minang mengalir di tubuh saya. Entahlah, apa yang sebenarnya terjadi pada diri saya. Beberapa teman yang tahu tentang ke-‘Minang’-an saya ini mengatakan pastilah saya nanti akan menikah dengan orang Minang, kelak saya akan tinggal di sana, bahkan yang lebih ekstrim bisa jadi saya akan meninggal dan dikubur di Ranah Minang…Wallahu’alam. Saya hanya merasa harus mencari jawabnya dengan mengunjungi Ranah Minang. Hingga…suatu hari di bulan Agustus, ahirnya saya bisa menjejakkan kaki saya di sana.

Indah, dan tentu saja exciting (!!) melihat budaya yang agak berbeda dengan suasana dimana sehari-hari saya tinggal. Itu yang akhirnya ada dalam hati saya ketika menginjakkan kaki ke Ranah Minang. Meski Padang “Kota Tercinta” panasnya tidak kalah dengan Surabaya, setidak-tidaknya masih ada hembusan angin sejuk (tapi lumayan kencang juga) di Pantai Padang, yang berada di pinggir Samudera Hindia. Pemerintah Kota Padang telah menyediakan fasilitas untuk masyarakat yang ingin berjalan-jalan di pantai dengan membangun jalan di sepanjang pantai, dimana masyarakat bisa berjalan-jalan sambil mencicipi jajanan. Sayangnya, jika malam hari dan jalanan sepanjang pantai itu lengang, banyak anak-anak muda yang kebut-kebutan mengendarai motor atau mobil (trek-trekan) yang akhirnya mengganggu ketenangan istirahat malam hari bagi masyarakat yang bermukim di sekitar pantai. Termasuk saya yang tidak bisa tidur nyaman karena hotel yang saya tinggali persis di pinggir jalan yang menghadap pantai…dan tentu saja suara deburan ombak akan kalah oleh suara bising kendaraan bermotor yang kebut-kebutan. Ada kalanya polisi maupun satuan pamong praja berpatroli. Tapi setelah mereka pergi, aksi kebut-kebutan akan berulang lagi…:(

pantai_padang.jpg

Selain berjalan-jalan di Pantai Padang, kita bisa terus menyusuri pantai sampai ke arah selatan, dimana kita bisa menemukan Jembatan Siti Nurbaya dan Pantai Air Manis tempat Monumen Malin Kundang berada. Monumen ini sudah merupakan replika yang dibangun beberapa tahun lalu oleh pemerintah setempat, setelah lapuk berpuluh atau bahkan beratus tahun. Tentang kebenaran apakah memang benar bentuk batu Malin Kundang, ibunya, dan kapalnya itu benar-benar berasal dari kutukan sang ibu..Wallahu’alam.

Selain jalan-jalan sepanjang pantai..bolehlah kita berwisata kuliner di Padang. Sesampai di Padang, makan siang saya adalah seafood…dan sungguh luar biasa melihat teman saya yang makan lahap. Begitulah, katanya makan siangnya begitu sempurna saat itu..karena setelah makan dengan porsi besar, dia bisa merokok dengan nikmat, haha…. Tak lupa, berbagai macam makanan khas Minangkabau tersedia di sudut-sudut kota yang cukup ramai di malam hari. Mulai sate, martabak kubang, balado, dan makanan kecil yang jumlahnya tak terhitung, semua ada. Tentu saja yang membuat saya sangat terkesan saat menyantap martabak kubang adalah cara mereka melayani pengunjung, para pelayan menyampaikan pesanan kita kepada si pemasak pakai teriakan…waduh, saya sempat kaget dengan cara seperti itu… Untungnya martabak kubangnya benar-benar enak, hanya saja porsinya sungguh luar biasa untuk ukuran saya, dan buntutnya, tentu saja saya tidak habis menyantapnya. Sayang sekali…

sore_padang.jpg.


Di Padang tentu saja banyak terdapat pusat oleh-oleh khas Minang, yang salah satu tokonya menurut teman saya cukup terkenal dan saat mau pulang ke Surabaya saya akhirnya juga memborong oleh-oleh dari sana. Mau tahu nama tokonya? Christine Hakim !! Wah, itu khan nama bintang film terkenal kita, hehe…. Tapi, ternyata itu bukan kepunyaan mbak Christine yang kita kenal itu…kebetulan saja namanya sama. Dan sebagaimana toko atau kafe yang sedang nge-trend, di toko itu dipajang pula foto-foto artis yang beli oleh-oleh di sana lho…

Hari kedua, dua hari menjelang peringatan HUT RI ke 59, saya jalan-jalan pagi keliling Padang. Menyusuri pantai di pagi hari, memandang ramainya orang-orang berselancar, nelayan yang mulai melaut, suasana pasar yang ramai, bahkan juga terdengar suara anak-anak mengaji di beberapa masjid…mungkin begitulah rutinitas minggu pagi di Padang. Dan tentu saja akhirnya saya berkesempatan menyaksikan lomba gerak jalan, hehe..mengingatkan saya saat mengikuti lomba itu waktu SD dan SMP di Ngawi dulu…:)

jalan_padang.jpg

Menjelang siang, menyusuri perjalanan sepanjang Padang – Padang Panjang, kita akan disuguhi pemandangan indah, sawah-sawah dan kebun yang membentang di wilayah Kab. Padang Pariaman termasuk melewati Institut Nasional (Moh) Syafei di Kayutanam yang lebih dikenal sebagai INS Kayutanam. Institut ini adalah sebuah komplek sekolah yang lumayan terkenal di Sumatra Barat bahkan di Indonesia, karena saya sering mendengar tentang kiprah lembaga ini dalam berbagai kegiatan termasuk kegiatan bernuansa budaya yang berskala nasional. Tidak ketinggalan kita akan melewati Lembah Anai yang hijau menakjubkan….bahkan ada air terjun yang terletak di pinggir jalan !! Kita bisa istirahat sejenak, karena disediakan lahan parkir yang cukup luas di sekitar lokasi air terjun itu, sambil membeli jajanan dan tidak lupa memberi makan monyet-monyet liar tapi cukup jinak yang berkeliaran di lembah itu. Mereka sudah mengerti kalau jalan itu sering dilalui kendaraan, dan kita pun tentu dengan sukarela ingin berhenti memberi makan mereka, bahkan berfoto bersama mereka..:)

Di Lembah Anai pula terdapat jalur kereta api dimana di beberapa ruas jalur KA (yang biasanya mengangkut batubara itu) membentang di atas jalan raya..sungguh exciting jika membayangkan kita memandang KA yang membelah hijaunya bukit dan melintasi jembatan layang KA yang berwarna merah di atas kita. Sayangnya, menurut kabar jalur KA tersebut sudah tidak dipergunakan lagi. KA penumpang bahkan hanya melalui rute Padang – Padang Pariaman tiap hari Minggu untuk keperluan wisata saja.

Dari kota Padang Panjang, perjalanan dilanjutkan ke Istana Pagaruyung. Istana ini merupakan salah satu bangunan bersejarah yang masih berdiri sejak ratusan tahun yang lalu, hanya saja memang sempat dipugar pada tahun 1920-an oleh pemerintah Belanda. Asyiknya, untuk menikmati keindahan komplek istana ini beserta seluruh isinya yang terdiri atas singgasana Raja Alam Pagaruyung, pelaminan pengantin Minangkabau, serta dua bangunan kecil di sampingnya yaitu lumbung padi dan surau, pengelola tidak menetapkan jam tertentu. Cagar wisata ini akan tetap buka sampai pengunjung terakhir puas dan akan pulang sesore apapun. Walhasil, saya pun tenang-tenang saja saat baru sampai di komplek itu jam 5 sore. Sungguh indah menikmati alam di sekelilingnya di sore hari, sambil para pengunjung bisa membeli cinderamata di toko-toko souenir di sekitarnya. Bahkan saya pun sempat terbujuk teman-teman untuk menyewa baju Minangkabau dan berfoto sejenak di dalam istana serta di depan foto besar Raja Pagaruyung yang terakhir dengan memakai baju itu…J Sewa bajunya antara Rp 20.000 – Rp 25.000. Bahkan ada juga yang disewakan sepasang, laki-laki dan perempuan, juga untuk anak-anak. Tidak perlu melepas baju, tinggal merangkapnya saja karena baju Minang memang longgar, hehe..tapi ternyata agak gerah juga lho…maklum pake baju berlapis. Di dalam istana juga dijual beberapa buku yang memuat sejarah dan perjalanan budaya Minangkabau, saya pun sempat membeli sebuah. Maklumlah..cinto Minangkabau, jadi bagus juga khan untuk referensi…Saya memang membiasakan diri untuk membeli buku tentang daerah tertentu yang saya kunjungi, sebagaimana dulu saya juga beli buku-buku tentang Australia dan Jerman ketika berkunjung ke sana.

istana_pagaruyung.jpg

Setelah puas berjalan-jalan di komplek Istana Pagaruyung, saya melanjutkan perjalanan menuju ke Danau Singkarak. Saya merencanakan menginap di pinggir danau tersebut, sambil tentu saja menikmati suasana malam di pinggir danau itu. Perjalanan dari Pagaruyung memakan waktu hampir dua jam, itu pun harus beberapa kali bertanya. Saya membuat rute sendiri, saya ingin bisa menikmati Ranah Minang tanpa perlu diburu-buru waktu. Tentu saja harus berbekal peta dan harus berani menyusuri kampung-kampung dengan jalan-jalan sempit. Tetapi rasanya asyik juga lho…sambil memandang matahari terbenam di puncak bukit yang menuju wilayah Ombilin. Kira-kira jam 8 malam akhirnya kami sampai di Hotel Sumpur, satu-satunya hotel yang berada persis di pinggir Danau Singkarak. Brosur hotel-nya sih bagus, hanya saja kenyataannya kurang terawat, tapi..tidak apalah karena sudah capek dan mengantuk akhirnya kami langsung tertidur begitu selesai makan malam.

Cerita akan dilanjutkan ke bagian kedua……tentang Danau Maninjau dan Bukittinggi juga hari terakhir saat menikmati senja di Pantai Padang, sabar ya….:)

Terima kasih kepada Bang Teddy Alfonso, Ita, Widya, dan Taufik yang menjadi teman perjalanan saya…..juga untuk seorang sahabat yang berdarah Minang, tinggal di Jakarta tetapi selalu menemani saya sepanjang perjalanan lewat sms-nya…®

http://early.blogdrive.com/archive/24.html

Tidak ada komentar: